Seorang

Jam berdetak, tak berkutik sedikitpun dari dinding, di luar sana dendang-dendang serigala menguntit sang malam, tak sedikitpun memberi peluang untuk terjaga sendiri. Sementara rona langit mencekam, bintang gemintang bersembunyi di balik aungan hantu, lalu rembulan meredup ikut bersembunyi di balik kerumunan kelelawar.

Gelap amat lelap, tergeletak sang malam pada deritanya sendiri, mati kutu oleh sunyi sepi. Sunyi tak berkehidupan, sunyi dari pertemanan atau yang lainnya, di gubuk reot nan seorang diri. Bangunan yang hanya mampu mengamankan tubuhku, tidak untuk kenanganku. Di musim penghujan angin sering meluluh lantahkan tulang belulangku, kenanganku, lalu penghidupanku yang hangat walau masih berupa harapan pada saat itu, tapi tidak akan ku ragukan bahwa akan benar-benar ku dapati. Sebelum kau datang kemari.

Aku hadirkan sebatang tembakau, ku pilin, ku sungut, dalam-dalam menghisapnya, sambil menerawang hulu langit. Janji telah kau ucapkan disini, saat itu, masih ingatkah kau? Aku pertimbangkan dengan hati-hati apakah ingatanku itu benar dan tegap dengan pendirianku sendiri pada ingatan. Bahkan, aku akan menghakimi diriku sendiri jika aku lalai daripadanya.

Pada bulan kelima, sepulang mencari rokok aku beranikan menemuimu, tubuhku gemetaran, desiran darah sangat deras, rasa-rasanya akan segera meledak semakin aku mendekatimu. Belum sempat aku mengeluarkan suara untuk menyembunyikan kegugupanku, kau mengatakannya dengan nada tenang dan penuh kewibawaan. Tapi tidak untukku, aku selalu gemetar, tak sanggup berteriak dalam hati sekalipun, walau sudah ku persiapkan dan telah kurancang kalimat demi kalimat yang akan aku utarakan saat di depanmu.

Aku hanya diam, tak berkutik, hening ketika bertemu, suara kedipan mata mendominasinya, denyutan nadi begitu kentara, aliran air liur yang ku telan bertubi-tubi terdengar begitu sempurna pada pendengaran. Aku tak juga ingin kau mengetahuinya, aku enggan, bahkan tak akan mampu mengarahkanmu untuk mengerti jikapun kau terpaksa harus mengetahuinya, tapi bukan dari aku, bukan dari kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri, mungkin akan kau dengar dari langit yang risau dan dengannya terdengar petir menyambar-nyambar, angin dengan risau desahnya, atau lewat dentuman jam yang ada pada dinding yang selalu menikmati kesendirian dan kesepiannya, kau harus tahu sendiri tanpa harus siapapun membuka mulutnya untuk memberi pengertian kepadamu, langit, angin, ataupun dentuman jam, kau wajib mengerti, wajib!

Mengerti persoalan yang tidak sedikitpun orang mengetahuinya, pun kau sendiri. Hanya saja kau harus tahu sebelum aku memaksa mulutku bicara, sebelum langit menangis karena keterlaluanku berdiam mematung.

Bukan tanpa perkara, bukan tanpa sebab, bukan karena aku malas berbincang. Hanya saja mulut ini kelu, hati ini beku dan seluruh tubuhku bergetar, tak berani aku memuntahkan sepatah katapun, walau lewat aniaya apalagi dengan sadar melakukannya, mustahil. Bukan tak pernah mencoba, aku telah berulang kali melakukannya, hasilnya tetap sia-sia, tak ada guna, dan semakin menambah rentetan kegagalanku.

Dua, tiga kali aku hembuskan asap rokok tebal, semakin dalam ku renungi semasa itu. Ketika ketukan pilu hati memutuskan kekalahanku dan fikiranku tak sanggup bangkit menyeka keringat perjuanganmembela lagi. Lewat asap-asap itu sedikit menurunkan kelu dan kakuku. Berbatang-batang, berbungkus-bungkus,berslop-slop, habis di mulutku.

Masa yang ingin aku kembali padanya, bukan untuk menyampaikan sesuatu, hanya saja aku rindu. Rindu Ketika aku dapati kau tersenyum, ketika aku datang membawa sebungkus rokok dan kau menyambutku.

Teringat olehku masa itu yang kuawali ingatan itu ketika pintu kubuka menyebabkan deritan panjang terdengar, tak perlu permisi karena disanalah aku sering membaringkan tubuhku, bukan harapanku. Matamu menusukku seketika, tak kau lepaskan ancaman itu kemanapun diri ini bergerak, tak sedetikpun, tak beri kau kesempatan pada gerakanku yang bebas dari ancaman matamu yang selalu ku takuti itu. Aku berhenti dan kau tetap sama, manatapku dengan tatapan serius, tak kudapati kebencian, namun aku dapati sebuah harapan, harapan yang enggan aku letakkan walau sering sekali tubuhku kuliarkan, kubebaskan kemanapun. Ingin rasanya kencing di tempat karena keteganganku namun kau tetap mengawasi setiap gerakku, semua kau kuasai sampai gerak dari nadiku kau pun ikut merenggutnya. Sadis!

Kau yang hanya aku kenali lewat sorot matamu, walau alismu begitu indah melindungi kejora yangsama indahnya. Pipimu dengan lesung yang menawan. Senyum yang pernah kau lontarkan serasa memberikanku nafas, meski tak lama. kau menatapku dengan mata kejoramu itu, dengan bibirmu yang sakti, mengeluarkan senyummu aku semakin tak berdaya. Bagai rembulan yang enggan redup walau siang telah hadir, begitulah kolaburasi wajahmu.

Semenjak itu, kau sering ku dapati berada disana. Tepat pada saat aku pulang membawa sebungkus rokok. Hingga aku terbiasa mendapatimu, dan entah kenapa kau sudah menjadi bagian dari hariku, tapi tidak harapanku, karena aku takut kau hanya bermain saja. Selain itu, aku tak bisa berkata sepatahpun di hadapanmu. Kau selalu hadir dan tak juga berkata sepatahpun, sama sepertiku.

Bulan kedua dalam tahun perhitunganku sendiri, ku temukan kau sama seperi biasa. Hanya saja rona wajahmu berubah, kau riang, kau tersenyum. Bahkan kau sudah melepaskan ancaman matamu. Kau sudah berubah, dan aku tetap sama, kau menambah rasa keluku, kau menambahi dengan begitu banyak hal yang berkecamuk di kepalaku. Aku tetap bersamamu karena hadirmu bagian dari hariku dan sudah berada pada memori otak di bawah alam sadarku.

Bulan ketiga dalam tahun perhitunganku sendiri, ku temukan kau sama seperti biasa. wajahmu seram, kernyitan dahimu menambah rasa keluku. Kau bersedih rupanya, harapan sudah tidak ada lagi tergambar pada sorot matamu, semua menjadi neraka, walau semuanya kau sembunyikan padaku, ingin kau kembali tersenyum, namun kau pun tak mampu, kau ingin menipu dirimu sendiri. Untuk tidak menambah kebingunganku, aku tundukkan kepalaku, layaknya tak sadar dengan semua yang ku dapati darimu, aku hanya bisa meredam gelisahku, walau tak sempurna.

Bulan keempat dalam tahun perhitunganku sendiri, ku temukan kau sama seperti biasa. Wajahmu datar, tidak melambangkan kesedihan ataupun melambangkan sebuah harapan, tak sekalipun terlihat bahagia lewat senyuman seperti kala itu. Aku sudah terbiasa, dan hanya melawannya pada pendirianku sendiri. Namun tak mengerti apa yang kau lakukan disini dan selalu ku temukan kau disini. Diam sepertiku dan tak bersuara.

Tepat pada bulan kelima dalam perhitunganku sendiri, ku temukan kau sama seperti biasa. Namun tidak dengan apa yang kau lakukan, ku dapati kau bersama orang lain, kau berpangutan, tak sedikitpun rikuh dengan kehadiranku. Entah, mataku meleleh, bibirku menggigil, badanku lemas, nafasku datang dan pergi, rokokku tak bisa terbendungku lemparkan di wajahmu, tak sekalipun kau melihatku, semakin kau tenggelam dengan apa yang kau lakukan. Orang lain itu, entah sejak kapan berada disana, berada di gubukku dan memberikan sebuah bencana dahsyat pada hidupku, aku telah kiamat.
Hingga aku pergi tak lagi bisa menahannya, aku terkulai lemas di belakang gubukku. Aku tertidur disana sampai burung menjatuhkan nyanyian-nyanyiannya esok hari.

Aku segera masuk gubukku. Tak kulihat kau ada disana, dan sudah akan ku lupakan, dan berharap setelah aku pergi mencari sebungkus rokok, kau hadir seperti biasa, dan aku akan bertaruh untuk bicara padamu. Ini kesempatan terakhirku.

Tepat pada bulan kelima hari kedua dalam perhitunganku sendiri, aku menemukanmu. Aku tak iba sedikitpun, dan sepertinya kau pun sama, dan di saat itulah, kau meludahiku dan berkata “ aku menginginkanmu!”. Seketika aku ambil sebilah parang yang ada di dinding gubukku, ku tebas lehermu, kau bersimpa darah, aku belah dadamu, kuambil hatimu dan ku hancurkan dengan tanganku sendiri. Sehari sebelum terjadi kau telah menghinaku, kau didepan mataku melakukan kebiadapan. Kau tak terampuni.

Dan aku menyesal, sepatahpun tak pernah ku katakan padanya. Dan saat ini ku rindu, bukan padamu atau bukan berkata padamu, namun pada hari-hariku yang selalu kau amati. Dan sekarang tak ada lagi sepasang mata itu, dan tak lagi aku bisa menganggap diriku manusia, karena tanpa ada yang lain. Itu hanya kau, seseorang yang tak ku ketahui, datang dan pergi membawa surga sekaligus neraka padaku.