Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2018 di pelbagai tingkatan jenjang pendidikan memunculkan kebijakan yang kontroversial, yakni sistem zonasi. Berbeda dari tahun sebelumnya yang menggunakan nilai UN sebagai acuan, PPDB tahun 2018 mulai menggunakan zona wilayah sebagai acuan tambahan diterimanya calon siswa baru ketika mendaftar di jenjang sekolah lanjutan. Pro kontra muncul karena timbul asumsi bahwa nilai UN tidak menentukan diterimanya calon siswa baru. Hal ini tentu akan merugikan siswa berprestasi yang mempunyai nilai UN tinggi dan ingin masuk “sekolah favorit” namun berdomisili di daerah-daerah.
Dahulu siswa berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai UN tinggi sebagai modal mendaftar di sekolah yang diimpikan. Belajar giat di sekolah dan mengikuti les diluar jam sekolah dilakukan agar prestasi akademik dapat meningkat. Akhirnya, ketika PPDB “sekolah favorit” diserbu calon siswa dari berbagai daerah yang mempunyai nilai UN tinggi, calon siswa yang mempunyai NEM pas-pasan harap-harap cemas dan terus mengamati jurnal PPDB. Mereka selalu memantau apakah namanya tercantum dalam zona aman atau rawan. Jurnal PPDB sangat fluktuatif dan bergantung pada nilai UN pendaftar. Jika calon siswa tidak diterima di sekolah negeri, maka mereka bersiap dan lapang dada untuk melanjutkan pendidikan di sekolah swasta.
Dasar hukum diterapkanya sistem zonasi pada PPDB tahun 2018 adalah Permendikbud No.14 Tahun 2018. Pada pasal 16 tertulis tentang sistem Zonasi.
Pasal 16
(1) Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
(2) Domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB.
(3) Radius zona terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi di daerah tersebut berdasarkan:
a. ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut; dan
b. jumlah ketersediaan daya tampung dalam rombongan belajar pada masing-masing sekolah.
(4) Dalam menetapkan radius zona sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah daerah melibatkan musyawarah/kelompok kerja kepala sekolah.
(5) Bagi sekolah yang berada provinsi/kabupaten/kota, di daerah ketentuan perbatasan persentase dan radius zona terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan melalui kesepakatan secara tertulis antarpemerintah daerah yang saling berbatasan.
(6) Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat menerima calon peserta didik melalui:
a. jalur prestasi yang berdomisili diluar radius zona terdekat dari Sekolah paling banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima; dan
b. jalur bagi calon peserta didik yang berdomisili di luar zona terdekat dari Sekolah dengan alasan khusus meliputi perpindahan domisili orangtua/wali peserta didik atau terjadi bencana alam/sosial, banyak 5% (lima persen) dari total paling jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
Pada Permendikbud No.14 Tahun 2018 secara gamblang menyatakan bahwa sekolah wajib menerima paling sedikit 90% siswa yang berdomisili dari zona terdekat dari sekolah dan 5% siswa yang berdomisili diluar radius zona terdekat melalui jalur prestasi. Artinya siswa yang berdomisili dekat dengan sekolah mempunyai peluang lebih besar dari siswa yang berdomisili jauh dari sekolah. Radius zona sekolah mengacu pada kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat, sehingga sekolah tidak berwenang menentukan radius zona namun pemerintah daerah wajib melibatkan kepala sekolah dalam merumuskan penetapan radius zona sebagai pertimbangan.
Kebijakan sistem zonasi bertujuan untuk pemerataan pendidikan, sehingga tidak ada ketimpangan dan kesenjangan kualitas pendidikan di kota maupun di daerah. Sistem zonasi juga secara tersirat menghilangkan persepsi mengenai “sekolah favorit”. Hal ini tentu saja mengubur mimpi calon siswa dari daerah yang ingin melanjutkan sekolah lanjutan di kota. Mereka belajar dengan giat untuk mendapatkan nilai UN yang tinggi sehingga bisa bersaing dengan calon siswa lainya. Namun dengan adanya sistem zonasi, pilihan melanjutkan sekolahpun menjadi sangat terbatas, penentuan diterimanya calon siswa bertransformasi dari nilai menjadi jarak.
Pemerataan pendidikan yang ingin dicapai melalui sistem zonasi adalah kualitas lulusan yang dihasilkan. Dengan sistem zonasi, sekolah mendapatkan bibit-bibit yang heterogen, dari NEM rendah hingga NEM tinggi. Sekolah mendapat tantangan serius untuk membina siswanya menjadi lulusan yang unggul. “Sekolah favorit” dengan sarana prasana/fasilitas lengkap yang biasanya mendapatkan bibit-bibit unggul kini harus bekerja lebih ekstra guna menempa siswa-siswanya yang heterogen. Sebaliknya sekolah daerah yang sebelumnya mendapat bibit-bibit biasa saja kini juga harus bekerja lebih ekstra karena terdapat bibit-bibit unggul dengan sarana prasana/fasilitas terbatas. Guru akan berperan besar dalam mewujudkan kualitas pendidikan yang baik. Perlu adanya inovasi dan improvisasi oleh para guru dalam menghadapi tantangan menempa siswa yang berasal dari latar belakang heterogen.
Sistem zonasi perlu tinjauan lebih mendalam karena menimbulkan dampak signifikan yaitu munculnya anggapan bahwa mendapatkan nilai UN tinggi tidak terlalu penting, yang penting adalah jarak rumah ke sekolah dekat. Hal semacam ini berpotensi menurunkan gairah dalam belajar untuk bersaing mendapatkan nilai UN tinggi, banyak siswa yang berharap kepada radius zona ketimbang nilai yang didapat. Walaupun sistem zonasi adalah bagian awal dari reformasi di bidang pendidikan namun seyogyanya pendidikan membutuhkan kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan. Jangan sampai siswa beranggapan bahwa “toh nilai tinggi akan kalah dengan yang berdomisili dekat”.