TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Tonggak Nasionalisme-Religius di Nusa Tenggara Barat

Di berbagai negara Islam, agama, dan wawasan kebangsaan acapkali dipandang sebagai hal yang dikotomis. Namun dalam konteks keindonesiaan, Islam dan nasionalisme adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan, saling beririsan dan menyatu satu sama lain.

Praktek integrasi keislaman dan keindonesiaan pun telah menjadi bagian dari realitas kehidupan agama, sosial, kultural dan politik negeri ini. Hal ini bisa dilihat dari pemikiran kebangsaan relijius yang tumbuh subur bahkan berabad-abad sebelum proklamasi Republik Indonesia dibacakan pada 17 Agustus 1945. Jika di Jawa ada KH Hasyim Asy’ari maka di Nusa Tenggara Barat ada TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan.

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dilahirkan di Kampung Bermi, Desa Pancor, Kecamatan Rarang Timur (sekarang Kecamatan Selong) Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 20 April 1908. Ayahnya bernama Abdul Madjid, seorang tokoh agama yang sering dipanggil dengan sebutan Guru Mukminah. Dari gemblengan ayahnya inilah Tuan guru mendapatkan bekal pengetahuan agama sebelum belajar lebih lanjut dari guru-guru lainnya seperti TGH Syarafuddin, TGH Muhammad Sa’id Pancor, TGH Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu.

Tumbuhnya Benih Nasionalisme-Religius (1923-1934 M)

Sejak kecil kehidupan TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sudah bersinggunggan dengan kolonial Belanda. Masa kelahiran TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan dekade awal penjajahan Belanda di Lombok yang ditandai dengan penaklukan Puri Cakranegara tahun 1894 M. Dua tahun sebelum kelahiran TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan fase awal pemerintah kolonial memberlakukan Peraturan Agraria Lombok. Kebijakan ini mengakibatkan situasi pangan masyarakat Lombok secara keseluruhan semakin terpuruk karena pemerintah kolonial semakin banyak memberikan pusat kepemilikan lahan ke tangan tuan-tuan tanah Bali dan Sasak.

Saat remaja TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersekolah di Sekolah Desa (Volkscholen) yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sampai kelas III. Pada tahun 1923 TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berangkat ke tanah suci Makkah untuk menimba ilmu agama lebih dalam lagi. Masa awal di Makkah, ia mulai berguru pada salah satu ulama yang mengajar di Masjidil Haram, Syaikh Marzuki selama hampir 2 tahun. Setekah itu Tuan Guru memulai pengembaraan keilmuan dengan berguru dari satu guru ke guru lainnya.

Masa-masa awal di Mekah Tuan Guru diwarnai dengan terjadinya berbagai peristiwa penting di Jazirah Arab, mulai dari invasi Raja Najed Abdul Aziz ke daerah Hijaz hingga keruntuhan Turki Utsmani yang ditandai dengan dideklarasikannya Republik Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk. Proses belajar di Makkah dengan segala dinamikanya inilah yang menjadi tonggak awal pergulatan pemikiran dan visi TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid kedepannya.

Menurut Jacob Vredengbert, selain menjadi pusat pembelajaran ilmu agama, Mekah saat itu juga menjadi pusat politik umat Islam Nusantara dimana mereka bisa bertukar ide, pikiran, serta proses timbal balik atas perasaan mereka terhadap bagaimana kondisi daerah masing-masing yang sedang terjajah. Nafas kebangsaan Tuan Guru semakin terpupuk ketika ia belajar di Madrasah al-Shaulatiyah, dimana ia terinspirasi oleh pendiri madrasah, Syeikh Rahmatullah yang merupakan seorang revolusioner penentang penjajahan Inggris di India sebelum ia mukim di Mekah. Hal inilah yang membuat TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid muda tergugah untuk memperjuangkan bangsanya yang juga sedang terjajah dan terbelakang.

Sepulangnya dari Mekah pada tahun 1934, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid langsung mendirikan Pesantren al-Mujahidin dengan memanfaatkan bangunan Musholla kecil di dekat kediamannya di Bermi, Pancor, Lombok Timur. Penamaan Pesantren al-Mujahidin yang berarti “Para Pejuang” ini bukan tanpa disengaja, seperti tulis M. Nashib Ikroman dalam Mengaji Hamzanwadi penamaan Al Mujahidin tetapi adalah sebagai bentuk manifestasi TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai intelektual muda terdidik melihat kondisi bangsanya saat itu.

Perjuangan Pasca Proklamasi Kemerdekaan

Matahari belum juga terbit, namun para perumus teks proklamasi sudah keluar dari rumah Laksamana Maeda. Beberapa jam setelahnya, mereka berkumpul kembali di kediaman Soekarno untuk mempersiapkan upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Menjelang pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945, tokoh-tokoh nasional telah hadir di tempat upacara, tepat pukul 10.00 WIB, dengan suara yang mantap, Ir. Soerkarno memberikan sedikit pidato pendahuluan dilanjutkan dengan membacakan teks proklamasi kemerdekaan.

Dengan dibacakannya teks proklamasi, maka secara resmi Indonesia telah menyatakan diri merdeka dan berdaulat penuh. Kabar kemerdekaan Indonesia ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Nusantara, termasuk di Lombok. Namun di Lombok, kabar kemerdekaan itu baru terdengar sekitar bulan Oktober.

Setelah mengetahui kemerdekaan Negara Republik Indonesia, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, tidak lantas berdiam diri, melainkan terus mengawal kemerdekaan. TGKH. Zainuddin Abdul Madjid memerintahkan beberapa muridnya untuk mengibarkan bendera sederhana dengan warna merah putih di depan komplek madrasah. Dua santri yakni Nursaid dengan Sayid Hasyim ditugaskan agar bendera tidak diganggu.

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga mendirikan Laskar al-Mujahidin, pasukan perang melawan militer Hindia Belanda yang kembali ingin menguasai Nusantara. Laskar ini beranggotakan guru dan santri Madrasah NWDI, NBDI dan jemaah pengajian TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Laskar al-Mujahidin dipercayakan komandonya pada adik kandungnya, TGH Muhammad Faishal. Sikap dan kiprah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam gerakan perjuangan kemerdekaan ini yang kemudian mendapat julukan sebagai pejuang perintis kemerdekaan.

Nama Laskar al-Mujahidin ini juga diabadikan menjadi nama Masjid Agung Selong Lombok Timur. Masjid ini dibangun di sekitar kawasan pertempuran dengan Pasukan Militer Brigade Y NICA di Selong. TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid muda cepat mendapatkan pengaruh di masyarakat, dengan kemampuan dan moralitas yang ditunjukkan. Masyarakat Pancor mempercayaikannya sebagai imam dan khatib shalat Jumat di Masjid Jami’ Pancor. Figur anak muda ‘alim yang memiliki integritas, keilmuan, serta perjuangan yang dilakukan, masyarakat menyandangkan gelar dengan sebutan “Tuan Guru Bajang” atau Tuan Guru Muda”.

Mendirikan Ormas Nahdlatul Wathan (NW)

Pendirian Nahdlatul Wathan adalah fase lanjutan bagi perjuangan TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Melalui organisasi ini, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berharap bisa menyatukan masyarakat Islam Nusantara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini juga sebagai visi futuristik TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, meletakkan konteks perjuangan pada level nasional, dari Lombok untuk Indonesia.

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa) pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 H, bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1953 M. Kata Nahdlatul Wathan diambil dari penggalan nama madrasah yang beliau dirikan tahun 1937 yaitu Madarasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa), yang selanjutnya disingkat NW, merupakan organisasi sosial kemasyarakatan dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah.

Menurut Muhammad Noor dalam Visi Kebangsaan Religius, pendirian Nahdhatul Wathan dilakukan karena adanya desakan para petinggi Partai Masyumi di Jawa yang khawatir melihat gelagat Nahdlatul Ulama yang mulai menyatakan ketidakpuasan. Jika Nahdlatul Ulama keluar dari Masyumi, maka dikhawatirkan massa pendukung yang ada di Lombok juga akan ikut tercerai berai, sehingga massa pendukung yang sebagian besar berada di bawah pengaruh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang menjadi epicentrum politik, harus segera diikat dalam organisasi selain NU, untuk menjadi anggota istimewa.

Sejak didirikan, Nahdlatul Wathan melaksanakan muktamar sebanyak 10 kali, selama TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid masih hidup. Dan menempati posisi sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan selama enam periode, sejak 1953-1973. Kemudian digantikan Haji Jalaluddin untuk periode 1973-1978. Namun, periode ini tidak ditutup sempurna akibat adanya gejolak internal, sehingga dilakukan Muktamar Kilat Istimewa 28-30 Januari 1977 di Pancor yang mengembalikan posisi TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.