Kita tentu sepakat kalau Bahasa Jawa itu tak kalah uniknya dengan Bahasa Arab. Hal ini bisa ditunjukkan salah satunya dengan berpanca-ragamnya istilah. Sebutan dan penamaan untuk satu kasus saja itu bisa werna-werni, baik kata benda, kata kerja dan kata sifat yang masih memiliki rumpun arti yang berdekatan tapi berbeda secara konteks.
Bagaimana Bahasa Jawa berbicara perihal ini? Taruhlah contoh yang akan saya wedarkan dibawah ini:
Pari adalah sebutan untuk butiran-butiran padi yang masih dalam masa tanam. Gabah adalah pari yang telah dipanen lalu dipisahkan dari batangnya tapi masih berbaju merang (kulit padi). Kalau gabah yang tinggal kulitnya alias kopong (tidak menghasilkan biji), namanya kapak.
Lalu biji padi hasil proses penggilingan yang sudah tanggal dari kulitnya namanya beras. Lain lagi dengan menir, yaitu gabah digiling menjadi beras yang terlalu halus, atau tidak utuh satu biji. Kemudian, setelah melewati tahapan dimasak disebutnya sego (kalau jumlahnya banyak) andai sebutir saja itu upo. Intib, adalah nasi gosong yang biasanya ada di dasar penanak nasi. Sedangkan sisa nasi yang dijemur sampai kering di bawah panas matahari namanya karak.
Apa yang mau diragukan lagi? Kaya benar bukan bahasa kita ini!! Coba tengok lisan Bahasa Inggris yang cuma bisa menyarikan contoh kesemuanya dengan kata rice saja.
***
Dulu sewaktu Madrasah Ibtidaiyah, saya ditantang kawan bangku sekolah untuk merapalkan kalimat Jawa ini: “laler lare rolas dan lor ril, kidul ril” dengan berulang-ulang akan tetapi syaratanya dengan artikulasi yang jelas juga cepat. Sungguh dibayangkan saja ini sulitnya bukan main, apalagi dicoba. Akhirnya saya mencobanya juga dan gagal, tiada fasih sama sekali tuturan saya malah yang ada mbrengengeng seperti dengungan suara lalat terbang. Yang pasti mulut saya mblibet-blibet tak karuan.
Permainan senam mulut yang mengasah konsentrasi otak.
Lantas, kenapa hal ini bisa terjadi? Sebab dalam satu kalimat “laler lare rolas” terdapat tiga kata yang hampir sama secara pelafalan tapi berbeda (sama halnya dengan lafadz yang makhrojnya berdekatan), dan masing masing kata yang menyusun kalimat tersebut ketiganya sama-sama mempunyai huruf “l”, dan “r”.
Saya coba membayangkan lagi bagaimana jadinya (mohon maaf) jikalau dilafalkan oleh orang yang pelat (cadel). Sungguh kegelian yang haqiqi.
Kemudian apa hablumnya (hubungannya) antara Bahasa Jawa dan Bahasa Arab? Sebagian kecil apa yang menjadikan identik antara keduanya? Dan kesamaan apa yang dimiliki keduanya?
Ternyata, Bahasa Arab dalam diskursus Ilmu Balaghah juga mempunyai contoh yang serupa dalam Bahasa Jawa di atas. Namanya adalah Tanâfur al-kalimât. Dan syarat sebuah kalimat dikatakan fasih (Fashâhah al-Kalâm) haruslah terhindar dari beberapa cacat-cacat, yang salah satunya adalah Tanâfur al-kalimât itu tadi.
Tanâfur al-kalimât
Ketika suatu kalimat terasa berat di lidah dan sulit diucapkan, maka disebut tanâfur al-kalimât. Jika diucapkan secara terpisah, setiap katanya akan mudah, tetapi akan menjadi sulit ketika dirangkai menjadi satu kalimat.
Adapun macam Tanâfur al-kalimât ada dua:
1. Sangat berat diucapkan.
Anda bisa merasakan kesulitan itu, ketika mengucapkan kalimat berikut:
فِى رَفْعِ عَرْشِ الشَّرْعِ مِثْلُكَ يَشْرَعُ
“Orang sepertimu bertugas menegakkan tiang layar”
Kalimat tersebut berat diucapkan karena mengulang-ulang tiga huruf, ra’, ‘ain, dan syin. Huruf ra’ dan ‘ain dengan kombinasi terbolak-balik pada empat kata:
رَفْعِ، عَرْشِ، الشَّرْعِ، يَشْرَعُ
Dan pengulangan syin pada tiga kata:
عَرْشِ، الشَّرْعِ، يَشْرَعُ
Karena berat dan susah diucapkan, kalimat di atas menjadi tidak fasih. Kesulitan ucap juga akan Anda rasakan ketika melafalkan syair yang disenandungkan Abu Utsman Amr bin Bahar al-Jahizh berikut:
وَقَبْرُ حَرْبٍ بِمَكَانٍ قَفْرٍ # وَلَيْسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرٌ
“Kuburan Harb ada di suatu tempat sepi,
Tidak ada kuburan lain dekat kuburnya”
2. Agak berat diucapkan.
Sebagai contoh, mari baca syair Abu Tamam bin Hubaib bin Aus berikut:
كَرِيْمٌ مَتَى أَمْدَحْهُ أَمْدَحْهُ وَالْوَرَى # مَعِيْ وَ إِذَا مَا لُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِي
“Dia dermawan, bila kupuji, semua ikut memuji
Apabila aku mencaci, aku mencaci seorang diri”
Ada perbedaan tingkat kesulitan ucap. Semakin sulit diucapkan, suatu kalimat akan semakin tidak fasih. Apalagi kalau sampai bikin lidah terbelit, membuat pendengar salah dan gagal paham.
lalu, apakah saat kita mengungkapkan kata-kata manis dengan rapalan yang gagap dan terbata-bata kepada kekasih itu termasuk Tanâfur al-kalimât? Faktanya saya belum pernah mencobanya.
*Tambahan: Dalam bahasa Madura, kita bisa dengar ungkapan “Bede beddena bedde’ beddeh!” (Ada tempatnya bedak sobek). Dalam bahasa Indonesia, ambil saja contoh kalimat “Kontak di tongkat, tak ingat tongkat, kontak pun tongkol!”